Monday, July 31, 2017

Dua Garis

Sekitar semingguan saya menghentikan konsumsi metformin, tetapi saya merasa kondisi fisik saya masih saja sama, lemas dan cepat capai. Bulan Maret itu saya tidak mendapatkan menstruasi walaupun waktu itu saya masih rutin mengonsumsi metformin dan saat kondisi fisik saya seperti itu, sudah bulan April. Saya pun sebenarnya sudah merasakan gejala akan mengalami menstruasi, seperti perut bagian bawah mulai sering kram, pinggul nyeri, payudara nyeri. Secara rasional saya berpikir bahwa mungkin sebentar lagi, sekitar semingguan, saya akan menstruasi.  Lalu, entah mendapat bisikan dari mana, tebersit untuk meminta suami saya membelikan test pack. Yah, kami sudah lama tidak memegang alat itu, karena selama ini kami selalu dibuat kecewa. Siklus menstruasi saya dari dulu tidak pernah teratur, jadi kami tidak mau kege-eran dulu. Tapi tetap saja ada rasa ingin melakukan tes urin. Maka, suami pun dengan menjawab sekenanya bilang kalau nanti pulang kantor mampir beli. Saya juga sekadar iseng juga. Lalu ketika test pack terbeli pun, saya tidak bergegas untuk menggunakannya. Sampai beberapa hari setelahnya, ketika malam saya melihat test pack yang tergeletak di meja kerja saya, baru ingat kalau sebenarnya saya berencana untuk tes urin.

Paginya, tepatnya pada 10 April 2017, saya melakukan hal rutin dengan memasak dan bersiap ke kantor. Selesai memasak, saya baru ingat ketika melewati meja saya lagi. Ya ampun, kan saya pagi ini mau tes urin, padahal tadi saya sudah telanjur pipis. Saya pun berpikir, yah mungkin nanti waktu mandi siapa tahu kebelet pipis lagi. Maka saya pun melanjutkan aktivitas pagi itu.

Ketika saatnya mandi dan bersiap ke kantor, saya menyambar test pack dari meja dan membawanya serta ke kamar mandi. Saya mencoba pipis lagi. Ternyata masih ada pipis yang keluar walau sedikit. Dengan enggan saya mencelupkan strip. Tanpa melihatnya. Lalu ketika saya merasa sudah cukup, saya membuang sampel urin saya dan akan meletakkan strip itu ketika saya melihat ada dua garis yang jelas di strip. Saya langsung terbelalak, deg-degan, gemetar, berkeringat dingin. Saya ragu untuk memanggil suami saya, jangan-jangan strip itu kedaluwarsa. Saya lalu cek bungkusnya dan tanggal kedaluwarsa masih sangat lama. Plastik pembungkusnya pun tadi saya buka dengan kesusahan, jadi kemungkinan bocor atau rusak juga tidak mungkin.  Setelah bengong beberapa saat, saya pun berteriak memanggil suami saya. Suami saya tergopoh-gopoh ke kamar mandi dengan wajah panik karena waktu itu dia masih tertidur. Dengan suara tercekat, tangan gemetar, mata basah, saya menyodorkan strip itu ke suami . Suami saya yang masih berusaha mengumpulkan nyawa menerima strip itu, lalu terdiam. Bergantian melihat strip itu, lalu saya dengan tampang bingung. Tapi ketika sadar, dia lalu berkata, “Eh jangan seneng dulu. Kita coba tes lagi besok.”

Hari itu pun kami lalui dengan penasaran. Saya mencari-cari info di internet dan memang benar jika strip menunjukkan dua garis itu belum tentu menunjukkan kehamilan. Ada beberapa kelainan rahim yang juga berakibat pada tingginya HCG dan akhirnya muncul dua garis di strip. Dengan riwayat saya sebelumnya, suami tidak mau bergembira dulu dan tetap waspada jika justru hal terburuk yang terjadi.

Maka hari berikutnya, 11 April 2017, pagi-pagi benar kami bangun. Suami langsung mengeluarkan test pack yang dia beli lagi sore hari sebelumnya. Ternyata dia mengeluarkan 5 strip sekaligus. Saya lalu pipis dan kami berdua mencelupkan setiap strip sambil menunggu hasilnya. Semua strip bergaris dua. Setelah itu sorenya, kami pada memutuskan untuk menemui dokter kandungan yang menangani kami sebelumnya.




Sore menjelang malam, kami sudah sampai di tempat praktik dokter. Setelah nama kami dipanggil, kami masuk ke ruang periksa. Kami dengan was-was dan ada sedikit rasa takut lalu menceritakan apa yang terjadi. Dokter melihat catatan medis kami, dan mengetahui bahwa kami sudah sekitar 6 bulan tidak menemuinya lagi sambil mempelajari ulang kasus kami sebelumnya. Setelah dokter paham bahwa saya adalah pasiennya yang sempat terapi PCOS dan mendengar cerita kami, wajahnya langsung berseri sambil berkata, “Wah, saya yakin kalau ini hamil!” Kami hanya bengong, lalu menjawab, “Tapi kalau ternyata bukan hamil, gimana, dok?” “Kalau gitu, mari kita lihat”, kata dokter sambil meminta saya berbaring.

Dokter kemudian melakukan USG transvaginal seperti sebelumnya dan saat itu langsung terlihat ada kantong kehamilan. Dokter langsung berkata dengan suara riang, “Nah, itu dah kelihatan janinnya. Mari kita lihat usianya berapa.” Saya dan suami hanya terdiam tidak percaya. Setelah diukur berdasar panjang janin, ternyata sudah sekitar 7 minggu, maka janin dan kantongnya langsung terlihat jelas. Dan hal yang membuat kami takjub adalah kami sudah bisa melihat jantungnya berdenyut, berkedip-kedip di layar USG. Kami waktu itu dengan masih terkejut tidak percaya, hanya bisa berucap, “Puji Tuhan!”

Tangan saya gemetar karena sangat bahagia. Ketika turun dari bed, saya juga gemetaran sambil menahan tangis. Dokter mencetak hasil USG dan memberikan kepada kami. Dokter terlihat ikut bahagia karena kasus PCOS itu gampang-gampang susah, yang sudah menjalani bayi tabung pun belum tentu berhasil hamil. Dan selama ini sebenarnya dokter berharap saya bisa hamil secara alami dan ternyata terjadi. Saya berhasil hamil justru ketika kami tidak memeriksakan diri ke dokter selama 6 bulan itu. Prosesnya benar-benar alami, kecuali dengan bantuan obat-obatan yang kami konsumsi tentu saja, dan yang terutama dengan berkat dan seizin Tuhan yang penuh kasih. Dokter dan asistennya memberi selamat kepada kami. 



Kami pun pulang dari tempat praktik dokter dengan penuh syukur, tidak percaya, dan berbagai pikiran yang berseliweran di benak kami. Dan malam itu kami menelepon orang tua dan adik untuk memberitahukan kabar gembira ini. Kabar gembira bahwa saya telah ambil bagian dalam kisah penciptaan… ada ciptaan Allah yang bernyawa di dalam rahim saya.


bersambung….

Thursday, July 27, 2017

Gula Darah Drop

Setiap hari saya dan suami mengonsumsi obat-obatan penunjang secara rutin, tidak pernah lupa sehari pun. Sampai-sampai kami hafal apotek yang menyediakan obat yang kami cari, karena ada obat yang tidak tersedia di apotek pada umumnya. Itu pun kami awalnya harus inden di apotek tersebut. Dan lambat laun, mungkin karena tiap bulan kami mencari obat tersebut, apotek langganan kami lalu menyediakan obat tersebut tiap bulan sesuai jumlah yang kami butuhkan, tak perlu inden lagi.

Kira-kira 6 bulan kami minum obat rutin dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Waktu itu suami saya sudah berencana untuk cek lab lagi, memeriksakan kualitas sperma setelah terapi itu. Ingin melihat apakah ada perubahan, peningkatan, atau justru tak ada perubahan sama sekali.

Saya masih aktif dengan berbagai kegiatan saya, begitu juga suami. Kami pun mulai disibukkan dengan berbagai hal, tetapi kami tetap menghitung perkiraan masa subur. Bulan Februari-Maret 2017 adalah bulan tersibuk bagi kami. Ada banyak acara besar di keluarga besar maupun keluarga kecil kami. Ada syukuran mitoni adik, memasang dan membongkar lemari kabinet dapur, memindahkan tempat tidur lama ke kamar lain untuk digantikan dengan tempat tidur baru… yah, semua yang menguras energi dan pikiran. Sampai-sampai kami tidak sempat memikirkan kapan masa subur dan kapan harus berhubungan. Kami menjalani hari-hari dengan tergesa, tetapi juga santai. Tergesa karena berbagai hal yang harus kami selesaikan, santai karena tidak harus buru-buru ke dokter saat menstruasi datang. Kami pun berhubungan sesuai dengan mood kami, tidak terpaku jadwal.

Pada Maret 2017, ketika itu saya sedang ada kegiatan kunjungan di suatu biara bersama anak-anak. Saya nyaris pingsan tiba-tiba. Untung saja salah seorang teman langsung tanggap dan memberikan bantuan seadanya. Lalu peristiwa serupa terulang ketika saya sedang membereskan barang dapur yang semula dikeluarkan karena kabinet dibongkar. Ketika itu saya menata barang-barang pecah belah, dan tiba-tiba napas saya tersengal-sengal. Saya langsung berhenti dan berbaring. Saat itu saya sudah ketakutan, apakah karena metformin yang adalah obat diabetes yang membuat fisik saya seperti itu? Apakah karenanya gula darah saya menjadi drop?

Keadaan seperti itu berlangsung sekitar 2 mingguan, sampai akhirnya saya memeriksakan ke dokter umum. Saya berangkat sendiri ke dokter, dan ketika dicek, tensi saya rendah sekali. Wah, setelah tahu tensi saya rendah, saya jadi was-was sewaktu perjalanan pulang. Di tempat dokter umum itu saya ceritakan bahwa saya sedang terapi dan mengonsumsi metformin. Dokter sempat kaget waktu tahu saya mengonsumsinya setiap hari selama ini. Dia langsung mencurigai bahwa memang gula darah saya pastilah drop karena gejalanya memang seperti itu. Waduh…Saya lalu diberi surat pengantar untuk cek gula darah di lab pagi harinya. Gula darah puasa.

Paginya, saya langsung menuju lab sebelum berangkat ke kantor. Kali ini saya minta diantar suami karena saya masih merasa lemas. Waktu itu suami saya bahkan sempat berpikir bahwa mungkin ada hubungannya dengan liver karena saya sering lemas dan mudah capek. Setelah sampel darah diambil, saya pun diantar ke kantor. Hasil lab diambil suami saya siangnya. Hasilnya bagus, gula darah tidak drop. Lalu sorenya kami kembali menemui dokter. Dokter waktu melihat hasil juga bingung. Gejalanya seperti orang yang gula darahnya drop, tapi hasil lab mengatakan lain. Akhirnya dokter hanya menyarankan untuk mencoba berhenti mengonsumsi metformin dan dilihat apakah ada perubahan atau tidak. Duh Gusti…. Ada apa lagi ya ini?


bersambung…

Sunday, July 23, 2017

Inseminasi Buatan Kedua

Sekitar hampir sebulan setelah inseminasi buatan yang pertama, saya merasakan adanya tanda-tanda akan menstruasi. Dan seminggu kemudian, saya beneran menstruasi. Yah, gagal maning… gagal maning. Kami pun kembali menemui dokter.

Waktu di tempat praktik, kami disapa oleh para asisten dokter, dan disangka saya sudah hamil setelah inseminasi sebelumnya. Saya jawab dengan lesu jika saya justru menstruasi. Gagal. Kami pun harus mengulang proses dari nol. Prosesnya sama persis, hanya saja kali ini ketika deteksi ovulasi, dinding rahim saya tidak menebal. Maka dokter memberi resep tambahan untuk membantu penebalan dinding rahim.  Setelah beberapa hari mengonsumsi obat tambahan tersebut, kami siap melakukan inseminasi buatan yang kedua.

Karena sudah pengalaman dengan inseminasi yang pertama, ketika kami sampai di tempat praktik dokter dan suami sudah diminta untuk mengeluarkan sperma, kami langsung pamit untuk membeli makan malam. Dan ketika kami kembali dari makan malam, prosesnya ternyata belum juga rampung. Lalu, proses yang kami lalui malam itu sama persis dengan proses pada bulan sebelumnya, hanya saja malam itu kami tidak perlu mengalami ban bocor.

Namun, sayang sungguh sayang…. Bulan berikutnya saya mengalami menstruasi lagi. Gagal untuk ke sekian kali. Dan karena kami mulai kelelahan secara fisik, mental, jiwa, dan juga financial, kami untuk ke sekian kalinya juga menyerah dan memilih istirahat sejenak lagi. Namun, kami berdua tetap melanjutkan obat-obat rutin yang diberikan dokter, jika kami kehabisan, kami akan membelinya lagi di apotek. Toh tak ada salahnya karena dokter juga bilang kalau kami harus meminumnya sampai saya berhasil hamil.

bersambung...

Friday, July 21, 2017

Inseminasi Buatan Pertama

Tiga bulan sudah saya rutin mengonsumsi metformin setiap hari. Siklus menstruasi saya mulai lebih teratur, walau tidak seteratur seharusnya, paling tidak tiap bulan saya pasti menstruasi. Di antara usaha kami, tak lupa kami panjatkan syukur dan permohonan kepada Tuhan. Yah, segala usaha kita, tanpa berkat Tuhan, semuanya tidak akan terlaksana.

Sampai ketika saya menstruasi kembali, dokter menawarkan untuk mencoba inseminasi buatan. Inseminasi ini maksimal dilakukan tiga kali berturut-turut. Jadi saya bisa memiliki kesempatan hingga 3x jika percobaan pertama dan kedua gagal. Prosesnya hampir sama, hanya bedanya nanti ketika deteksi ovulasi, saya akan disuntik di bagian perut dengan obat yang berfungsi memecah telur. Dan hari berikutnya dilakukan inseminasi. Kami setuju untuk mencoba.

Ketika perkiraan masa subur saya, dokter mendeteksi apakah terjadi ovulasi. Waktu itu terdapat beberapa telur yang mulai membesar, diharapkan telur tersebut bisa matang dan besarnya memenuhi syarat untuk dibuahi. Dan perut bagian bawah saya disuntik. Untuk sekali suntik, kami harus mengeluarkan biaya yang lumayan. Dan dokter meminta esoknya, tepat 24 jam setelah disuntik, kami kembali menemuinya untuk melakuka inseminasi.

Hari berikutnya, kami menemui dokter dan suami langsung diminta untuk mengeluarkan sperma supaya bisa dipersiapkan. Setelah itu kami menunggu sperma suami saya diproses. Karena baru pertama kali mengikuti proses inseminasi buatan, kami tidak tahu jika prose situ lumayan lama. Kami menunggu di ruang tunggu malam itu sangat lama, sampai-sampai kami kelaparan. Namun, kami tidak berani beranjak, siapa tahu sebentar lagi dipanggil. Dan sekitar 2,5 jam kami menunggu, akhirnya kami dipanggil masuk ke ruang dokter. Saya diminta untuk berbaring dan dokter memasukkan sperma suami saya ke rahim lewat vagina. Prosesnya tidak sakit dan tidak lama. Setelah itu, saya diminta untuk berbaring dulu selama sekitar 15 menit.

Dan setelah itu, saya diperbolehkan pulang. Sudah larut malam dan kami kelaparan. Ketika kami menuju parkiran, kami melihat ban motor yang kami tumpangi gembos. Sudah tidak ada tukang tambal ban di sekitar situ malam-malam. Akhirnya saya pun menelepon adik sepupu saya yang rumahnya lumayan dekat dengan tempat praktik dokter. Kami harus mencari tukang tambal ban di tempat yang lumayan jauh. Karena saya baru saja menjalani inseminasi, suami meminta saya membonceng adik sepupu saya, sedangkan dia menuntun motor. Yah, ini namanya perjuangan beneran. Akhirnya, setelah sekitar 2 km, kami menemukan tambal ban yang masih buka. Kami pun langsung mengantrekan ban motor untuk ditambal.


Seru sekali malam itu, dan tentunya tidak akan kami lupakan.

bersambung...

Wednesday, July 19, 2017

Berusaha Hamil dengan Metode Alami

Sekitar seminggu kemudian, kami kembali menemui dokter. Waktu itu menstruasi saya sudah berhenti. Dokter kemudian memeriksa melalui USG transvaginal kembali. Saya lama-lama sudah pasrah dan tidak merasa risih dengan pemeriksaan seperti itu. Pada saat diperiksa, ternyata ada beberapa telur saya yang berhasil membesar. Kata dokter, kendala penderita PCOS itu adalah tidak bisa menghasilkan ukuran telur yang memadahi untuk bisa dibuahi. Maka, jika ada beberapa telur saya yang berhasil membesar, itu menjadi peluang. Yang menjadi masalah saat itu adalah ketebalan dinding rahim saya masih kurang. Jadi, dokter memberikan resep kembali untuk menebalkan dinding rahim.

Kami pun diberi jadwal untuk melakukan hubungan suami istri pada hari tertentu dan jam tertentu. Dan, sayangnya gagal karena kami merasa tidak bisa menikmati hubungan yang diatur sehingga kami malah merasa hal itu sebagai tugas dan kewajiban.

Dan bulan itu pun saya kembali mengalami menstruasi, mendekati dengan tanggal bulan sebelumnya. Kami pun harus kembali menemui dokter. Begitu terus sampai sekitar 3 bulan, kami menjalani hal yang sama.


bersambung...

Monday, July 17, 2017

Mengawali Terapi Lagi

Ketika saya mengalami menstruasi hari pertama setelah mengonsumsi rutin metformin setiap hari, kami menemui dokter. Untuk pertama kalinya kami memeriksakan diri di rumah tempat dokter membuka klinik yang melayani orang-orang dengan infertilitas. Mbak-mbak dan ibu-ibu yang bertugas di klinik tersebut ramah-ramah, sehingga saya merasa nyaman.

Ketika nama kami dipanggil, saya menjelaskan lagi dari awal sampai akhirnya mendapat resep metformin. Semua berkas kami bawa lagi, karena dokter tidak akan mengingat kasus setiap pasiennya dengan detail. Dokter mencatat semua berkas yang kami angsurkan. Lalu setelah itu, saya diminta untuk berbaring. Dokter akan melakukan USG transvaginal, tetapi waktu itu saya bilang jika saya sedang menstruasi. Namun, dokter berkata bahwa tidak apa-apa. Lalu dokter mengecek dengan USG dan memang waktu itu terlihat jelas bahwa ada banyak kista kecil-kecil di indung telur saya. Istilahnya seperti roda kereta bentuk indung telur saya ketika di-USG.

Lalu, saya diminta kembali periksa sekitar seminggu setelah menstruasi hari pertama dan dokter memberikan resep tambahan berupa esfolat dan promavit. Di samping resep tersebut, saya tetap harus melanjutkan metformin saya. Suami juga diberi vitamin untuk memperkuat kualitas spermanya. 

bersambung...

Sunday, July 16, 2017

Hasil Tes Hormon

Setelah hasil tes hormon keluar, kami berusaha kembali menemui dokter. Kami sudah mengantre sejak pagi di klinik rumah sakit tersebut, tetapi nama kami tak kunjung dipanggil. Hingga sekitar pukul 11 siang, kami dipanggil oleh petugas administrasi yang memberitahukan bahwa dokter tidak praktik di klinik itu hari tersebut dan diminta untuk menuju rumah sakit satunya tempat dokter itu juga berpraktik. Dengan pandangan lelah, kami pun pulang karena jadwal praktik dokter di rumah sakit satunya adalah pukul 1 siang.

Sampai di rumah, saya mendaftar periksa ke rumah sakit tersebut via telepon. Setelah mendapat nomor antrean, kami sudah lebih lega. Lalu setelah selesai makan siang, kami menuju ke rumah sakit. Sampai di sana, dokter belum datang juga, dan kira-kira pukul 2 lebih, kami baru dipanggil masuk ke ruang periksa.

Kami menjelaskan bahwa kami sebelumnya bertemu dokter di klinik dan diminta untuk melakukan tes hormon. Saya pun melungsurkan berkas hasil pemeriksaan. Dokter memeriksa sebentar dan akhirnya berkata, “Yah, memang vonis dokter sebelumnya terbukti benar. Memang Anda PCOS.” Lalu dokter menjelaskan panjang lebar tentang PCOS dengan lebih sederhana sehingga kami mudah memahami permasalahan yang kami hadapi. Setelah itu, dokter member saya metformin, obat yang sama dengan yang saya konsumsi sebelumnya. Bedanya, kalau sebelumnya saya hanya mengonsumsi selama 5 hari, kali ini saya harus meminum obat itu setiap hari sampai saya hamil. Wow, kalau saya segera hamil, obat itu tak perlu lama-lama saya konsumsi. Akan tetapi, kalau sampai bertahun-tahun saya belum juga hamil, yah saya tetap harus meminumnya.

Setelah itu, kami bertanya kepada dokter, kira-kira kapan dan di mana kami bisa dengan leluasa bertemu dengannya. Dokter menganjurkan untuk datang ke rumahnya, karena dokter juga membuka praktik di rumah. Fiuuuuh…. Sungguh mencerahkan, karena waktu praktik dokter sore, sehingga saya dan suami tidak perlu mengambil cuti terlalu sering. Walaupun tempat praktiknya lumayan jauh dari tempat tinggal kami, tetapi kami bertekad untuk menemuinya.


Lalu, kami pun diminta untuk kontrol maksimal hari ketiga menstruasi. Yap, kami sudah terbiasa untuk kencan dengan dokter pada saat menstruasi, jadi seperti otomatis saja jika mendapat menstruasi, langsung daftar periksa. Dan sekitar pukul 3 sore, kami pun melangkah pulang. Walau capek karena seharian kami habiskan untuk mengantre, kali ini kami merasa optimis untuk kembali memulai lagi perjuangan kami.

bersambung...

Thursday, July 13, 2017

Tes Hormon

Kami menjalani hari seperti biasa setelah kami memutuskan untuk berhenti melakukan pemeriksaan. Tak lupa kami tak henti-hentinya menaikkan syukur dan permohonan kepada Tuhan. Kami percaya bahwa siapa pun yang mengetuk pintu-Nya pasti akan dibukakan, entah kapan pintu itu terbuka, hanya Tuhan yang tahu. Yang kami tahu hanyalah bahwa kasih karunia-Nya bagi kami tak habis-habisnya.

Saya sempat memiliki pemikiran untuk mengadopsi anak, karena saya sudah sangat merindukan kehadiran anak di tengah keluarga kami. Namun, berbagai pertimbangan, mulai dari reaksi keluarga besar, keribetan untuk mengurus administrasi, bagaimana reaksi si anak jika nantinya dia tahu bahwa dia anak adopsi, hingga apa yang akan disampaikan ke tetangga kepada anak itu tentang statusnya.

Lambat laun, cita-cita itu terkikis dan saya kembali memiliki harapan untuk kembali mencoba. Maka, sekitar 1 atau 2 tahun setelah pemeriksaan terakhir (sekitar awal tahun 2016), kami mencoba kembali mencari bantuan dokter. Dokter yang berbeda dari sebelumnya tentu saja. Saya sudah sering mendengar reputasi dokter yang kami pilih ini sebelumnya, tetapi entah mengapa, kemarin-kemarin kami tidak mencoba menemuinya. Kami bertemu dengannya pertama kali di sebuah klinik di rumah sakit. Bagian pencatat keluhan dan lain-lain meminta data-data dan berkas periksa apa pun yang pernah kami lakukan.

Pada pertemuan pertama, dokter ini hanya menjelaskan bahwa para dokter hanyalah alat yang membantu kami, bukan dewa atau tuhan yang dapat mengabulkan permohonan kami. Tuhanlah yang mengatur segalanya. Walau dokter sudah maksimal membantu, tetapi jika Tuhan belum menghendaki maka semuanya tidak akan terjadi. Kami saat itu diingatkan bahwa berusaha semaksimal mungkin itu harus dilakukan, tetapi harus tetap menyerahkan segala hasil dan kemungkinan kepada Tuhan. Dan, setelah sesi pertemuan pertama tersebut, saya diminta untuk melakukan tes darah untuk mengetahui kondisi hormon saya lebih tepatnya. Dokter saat itu sudah membaca lampiran-lampiran berkas pemeriksaan saya sebelumnya. Yah, tes hormon tidaklah murah menurut kantong pas-pasan kami, tetapi demi harapan yang menyala kembali, kami akan lalui itu.

bersambung ...

Wednesday, July 12, 2017

Menstruasi Macet Setelah Terapi

Setelah 8 bulan menjalani terapi endometriosis, saya merasa lega karena tidak perlu lagi minum obat dan merasakan kejang otot di sekujur tubuh. Dokter mengatakan bahwa saya akan mengalami menstruasi sekitar 2 bulan setelah terapi selesai. Baiklah, saya akan menunggu dengan penuh harap. Akhirnya 2 bulan terlewati, tetapi tanda-tanda akan menstruasi tak kunjung datang. Saya menunggu hingga 6 bulan dan saya tetap tidak menstruasi. Saya dan suami akhirnya kembali menemui dokter. Saya pun diberi resep untuk memacu menstruasi. Dan seminggu setelahnya saya menstruasi, tetapi darah menstruasinya sangat sedikit.

Bulan berikutnya saya kembali tidak menstruasi dan kembali diberi obat. Darah menstruasi pun makin sedikit, hanya seperti fleks. Saya putus asa lagi. Dan untuk ke sekian kalinya, kami memutuskan untuk berhenti memeriksakan diri.     

bersambung...

Menjalani HSG

Saya lupa kapan tepatnya, tetapi saya pernah diminta untuk tes darah guna melihat apakah massa di rahim itu ganas atau tidak. Hasil tes darah tersebut negatif alias massa tersebut tidak berbahaya dan tidak mengarah ke ganas.

Dokter juga pernah menyarankan untuk melakukan pemeriksaan HSG. Pemeriksaan HSG ini untuk mengetahui apakah ada sumbatan pada tuba falopi. Saat periksa dengan dokter pertama, saya juga sudah menjalani pemeriksaan ini, tetapi dokter kedua menghendaki pemeriksaan ulang.

HSG ini dilakukan dengan cara memasukkan cairan kontras ke rahim, kemudian dirongent untuk melihat penyebaran cairan kontras tersebut. Jika ada saluran yang tidak terlewati cairan, berarti terdapat sumbatan. Saya pun kembali menjalani pemeriksaan. Waktu pemeriksaan sebelumnya, saya tidak merasakan sakit di perut setelah itu walau banyak yang bilang jika akan ada sedikit nyeri di perut. Saya datang ke lab rumah sakit bersama suami, lalu setelah menemui dokter yang akan melakukan HSG, kami menunggu dipanggil.

Saat dipanggil, saya diminta untuk mengganti pakaian dengan pakaian pasien dan melepas celana dalam. Kemudian saya diminta tiduran di bed rongent. Ruangan tersebut sangat dingin dan bed juga dari semacam logam. Tubuh saya kedinginan setengah mati karena hanya mengenakan pakaian pasien yang tipis. Saya diminta berbaring sambil menunggu dokter datang dan peralatan disiapkan. Saat itu serasa sangat lama penantiannya. Saya sudah menggigil. Lalu dokter datang bersama perawat dan beberapa asistennya. Mereka menyiapkan segala peralatan. Saya diminta untuk menekuk kaki dan agak membukanya supaya dokter lebih mudah ketika harus memasukkan cairan kontras dari vagina saya. Ada rasa sangat tidak nyaman saat dokter membuka vagina saya dengan speculum. Lalu dokter dan perawat berusaha memasukkan semacam selang kecil, di pangkal selang itu terdapat semacam suntikan besar. Dengan susah payah, dokter mencoba memasukkan selang tersebut ke rahim saya. Sangat susah dan lama prosesnya. Saya sudah merasa makin kedinginan, ngilu, sakit. Lalu pada akhirnya, berhasil dan cairan kontras dimasukkan. Lalu speculum dilepas dan selang dikeluarkan. Semua orang lalu keluar dari ruang rongent. Saya diminta meluruskan kaki dan terlentang. Dokter kemudian mengambil foto rongent. Lalu saya diminta untuk mengubah posisi agak miring ke kiri. Lalu difoto ulang, begitu pula dengan kanan. Setelah selesai, saya diminta berbaring dulu kira-kira 10 menit. Ya ampun, sudah sangat menggigil tubuh saya. Lalu saya bilang ke perawat kalau saya sangat kedinginan dan saya pun diselimuti. Kemudian, saya diminta untuk turun dan membersihkan diri di kamar mandi. Dengan tubuh gemetar saya turun dan menuju kamar mandi. Saya buang air kecil dan membasuh vagina saya.

Ternyata, setelah itu, perut saya terasa sangat sakit seperti akan menstruasi. Makin lama makin sakit, tetapi saya tahan. Saya kembali ke kantor, suami yang akan mengambil hasil rongentnya. Rasa sakit tersebut berangsur-angsur menghilang setelah beberapa jam. Ketika suami mengambil hasilnya, kami membaca hasilnya dan hasilnya ternyata kedua tuba paten. Kami lega.

 bersambung...

Monday, July 10, 2017

Terapi Endometriosis

Beberapa bulan kami rutin memeriksakan diri untuk menjalani terapi PCOS hingga suatu pagi, saya menstruasi dan mengalami sakit perut hebat. Biasanya memang saya mengalami kram ketika hari-hari awal menstruasi, tetapi belum pernah sesakit ini. Kaki saya sampai terasa lemas dan saya hanya bisa meringkuk di kamar sambil menahan sakit. Dan, pagi itu juga kami menemui dokter. Kami menceritakan apa yang saya alami, lalu dokter memeriksa saya lewat USG. Dokter saat itu mengatakan bahwa rahim saya membengkak dan dia menemukan massa di rahim saya. Saat itu juga dokter mencurigai jika saya mengalami endometriosis. Waduh… apa lagi sih ini?

Kami lalu diminta untuk menjalani terapi lain. Terapi PCOS dihentikan dan kami diminta menjalani terapi untuk endometriosis. Kami diberi pilihan untuk terapi lewat oral atau suntik. Kami memilih oral dan terapi ini harus dijalani selama 8 bulan. Selama 8 bulan saya harus rutin mengonsumsi obat yang akan menghentikan menstruasi saya selama 8 bulan juga.

Saya pun pasrah harus kembali menerima vonis mengerikan lainnya. Pada seminggu awal terapi, tidak ada efek di tubuh saya. Namun, memasuki minggu kedua, terjadi hal yang menyiksa saya. Saya terbangun pagi dengan terkejut karena satu titik di kaki saya mengalami kejang otot yang sangat sakit. Saya terbangun dengan menjerit sehingga suami ikut terkejut dan terbangun. Setelah beberapa menit, kejang otot tersebut hilang dengan sendirinya. Kami kira waktu kejang otot disebabkan saya meregangkan badan terlalu bersemangat saat bangun. Namun, ternyata ternyata tidak dan itu baru awal. Hari itu, tanpa melakukan aktivitas fisik berlebih apa pun, badan saya akan mengalami kejang otot. Dan, saya makin sering mengalami kejang otot dalam sehari walaupun saya tidak melakukan aktivitas apa pun. Badan terasa sakit seakan mengalami pukulan di beberapa tempat.

Hingga pada saat kontrol berikutnya, saya menanyakan hal itu ke dokter. Dokter bilang jika memang itu efek sampingnya. Yah, saya pun tetap menjalani terapi itu karena sudah telanjur dimulai. Untunglah bulan-bulan berikutnya, dosisnya dikurangi, sehingga frekuensi kejang otot juga berkurang walau masih sering terjadi.

bersambung...


Sunday, July 9, 2017

Vonis PCOS

Setelah pengobatan herbal yang tidak mendatangkan hasil, kami benar-benar berusaha untuk membuat pikiran dan hati ini tenang, pasrah, tetapi tetap berpengharapan. Kami senantiasa memanjatkan syukur dan permohonan kepada Tuhan. Kami menyerahkan segala yang kami alami, baik hal membahagiakan maupun hal yang membuat kami kecewa.

Banyak keluarga, kenalan, teman yang menyarankan untuk periksa ke sana, ke situ, ke sini. Semua informasi kami tanggapi dengan senyum karena mereka pastilah sangat menyayangi kami, sehingga menunjukkan perhatian dengan memberikan begitu banyak saran. Akan tetapi, belum ada niatan dalam hati kami lagi untuk kembali berobat. Apalagi jika usulannya itu adalah pijat.

Sekitar tahun 2011, beberapa lama setelah tidak berobat ke mana-mana, saya kembali mengalami terlambat menstruasi selama 4 bulan. Saya mulai gelisah dan menanyakan ke suami, apakah sebaiknya kami kembali mencoba pengobatan. Tahun itu adalah tahun yang secara ekonomi tidak menguntungkan untuk kami. Saya mengajukan pengunduran diri dari kantor saya karena saya merasa kondisi kerja terlalu membuat saya stres dan bisa saja menghambat usaha kami. Dan saat itu juga, kami mulai membangun rumah impian kami. Tabungan kami mulai makin menipis. Namun, suami tetap mendukung saya untuk berobat.

Kami lalu memilih dokter kandungan lain. Singkat cerita, kami mulai bertemu dokter tersebut. Dokter meminta saya berbaring dan USG transvaginal pun dilakukan. Itu pengalaman saya pertama kali di USG dengan cara tersebut. Agak risih dan tidak nyaman pada awalnya. Lalu, ketika memeriksa, dokter mendapati sesuatu yang ganjil. Saya dicurigai memiliki PCOS.  Waktu itu kami tidak paham apa maksudnya. Lalu dokter meminta kami untuk mencari informasi sendiri melalui internet tentang PCOS. Kami hanya diberi tahu bahwa akan sangat sulit bagi kami untuk bisa hamil. Kami lalu diberi resep obat Metformin. Metformin ini adalah obat yang biasa dikonsumsi penderita diabetes dan biasanya digunakan untuk terapi PCOS.

Saat keluar dari ruang praktik dokter itu, saya tak lagi mampu membendung air mata. Tidak bisa hamil? Harapan saya tiba-tiba kembali runtuh. Saya tak berhenti menangis saat itu. Kami pun kemudian bersama-sama mencari tahu tentang apa itu PCOS.

PCOS adalah singkatan dari Polycystic Ovarian Syndrome. Saat USG transvaginal tersebut terlihat ada banyak bulatan kecil di indung telur saya maka dari itu disebut polycystic (kista kecil berjumlah banyak). Namun, kista yang ini sebenarnya adalah sel telur yang gagal matang dan pecah. Sederhananya seperti itu, kalian bisa mencari sendiri informasi tentang PCOS lebih lanjut.

Setelah saya dan suami dapat menata hati, kemudian kami menata rencana ke depan untuk menghadapi masalah ini. Salah satunya adalah tetap rutin periksa dan memantau siklus menstruasi sambil mengonsumsi Metformin tersebut. Dan yang tak pernah ketinggalan, kami selalu menyerahkan perjuangan kami kepada Tuhan.


Dan pada tahap ini, suami juga diminta untuk memeriksa spermanya. Sebelumnya suami pernah memeriksakan diri ke lab, dan saat itu hasilnya tidak terlalu baik, asthenozoospermae. Kondisi ketika sperma yang sehat dan berjalan maju sangat sedikit dibandingkan dengan sperma yang mati dan bergerak berputar. Suami tak putus asa, dia mulai mencari tahu bagaimana memperbaiki kesehatan spermanya. Mulai dari mengonsumsi vitamin, makan sehat, dan sebagainya.


bersambung....

Friday, July 7, 2017

Mencoba Obat Herbal

Saat kami memutuskan untuk tidak melakukan pengobatan, bukan berarti kami lalu tidak melakukan usaha apa pun. Kami tetap berusaha menghitung masa subur dan melakukan hubungan suami istri saat masa subur sesuai perkiraan kami. Kami juga mencari informasi melalui browsing internet hingga suatu hari ada informasi bahwa ada seorang dokter yang melakukan pengabdian masyarakat dengan melayani pengobatan dengan obat-obat herbal.



Kami tertarik, karena toh obat herbal siapa tahu lebih mudah diterima tubuh. Kami pun menemuinya, berangkat pagi-pagi untuk menghindari antrean yang mengular. Ketika giliran antrean saya, saya diminta berbaring dan dokter menanyakan apa keluhan saya. Saya mengatakan apa yang menjadi alasan saya menemuinya. Lalu dokter memegang perut saya dan meminta asistennya mengoleskan semacam ramuan ke perut kemudian ramuan itu dibebat. Saya cukup membayar sukarela waktu itu. Setelah itu, kami menunggu obat herbal kami diracik.

Obat herbal itu ternyata berupa jamu rebus. Ada berbagai jenis daun, kayu, biji yang ada dalam paket yang kami terima. Di dalam paket juga terdapat secarik kertas berisi cara merebus dan apa saja khasiatnya. Kami pulang dan langsung mencoba untuk merebus jamu tersebut. Pahit memang rasanya, tetapi demi mendapatkan buah hati, kami berdua tak memedulikan rasa pahit di lidah kami.

Setiap kali berobat, kami harus membawa secarik kertas di paket jamu itu, karena untuk memudahkan dokter untuk memberikan jamu berikutnya. Kami rutin melakukan pengobatan itu hingga beberapa bulan. Dan akhirnya, kami pun merasa lelah karena sepertinya tidak ada peningkatan ataupun perubahan apa pun. Saya tetap saja mengalami siklus menstruasi yang amburadul. Dan sekali lagi, kami untuk sementara berhenti berobat.

bersambung ....

Wednesday, July 5, 2017

Kecewa dengan Dokter Pertama

Setelah peristiwa keluarnya gumpalan saat menstruasi saya bulan sebelumnya, membuat saya dan suami lebih berhati-hati. Pada saat menstruasi bulan berikutnya, kami menemui dokter lagi. Kali ini saya merasa tidak ada yang aneh dengan keadaan saya sebulan ini.

Ketika kami sudah masuk ke ruang periksa, seperti biasa, dokter memeriksa saya dengan USG perut. Pada saat itu dokter tiba-tiba mengatakan, “Wah, ada kistanya ini!” Langsung saya dan suami geragapan. Kista? Aduh! Apa lagi ini? Dokter lalu mengukur besarnya kista melalui layar USG-nya.
Setelah saya selesai diperiksa dan diminta turun dari bed, saya lalu bertanya ke dokter tentang kista yang dia temukan tadi. Sebesar apakah? Letaknya ada di mana? Apakah berbahaya? Mempengaruhi kemampuan saya untuk bisa hamil? Apakah harus operasi? Namun, jawaban dokter saat itu membuat saya dan suami kaget sekaligus jengkel. Dia hanya menjawab, “Sudahlah, tidak usah dipikirkan, mbak.”

What? Tidak usah dipikirkan? Setelah dia barusan heboh menemukan kista di rahim saya? Setelah dia dengan heboh mengukurnya di layar USG? Dan mengatakan setelahnya supaya saya tidak usah memikirkannya? 

Setelah pertemuan tersebut, saya mengatakan kepada suami kalau saya ingin istirahat dulu, tidak mau periksa dulu untuk sementara. Saya merasa lelah fisik, mental dan emosi. Suami pun sepakat. Maka saat itu, kami menggunakan metode alami dengan harapan nantinya kami suatu saat nanti hamil.

bersambung....

Tuesday, July 4, 2017

Apakah Saya Pernah Hamil?

Sudah beberapa bulan kami berkonsultasi dengan dokter kandungan wanita tersebut. Belum ada tanda-tanda bahwa saya akan hamil. Obat penyubur dan pemacu terus saya konsumsi. Hingga pada suatu bulan, saya merasa bahwa saya akan menstruasi. Sakit sekali perut bagian bawah. Perut saya terlihat lebih gembung di bagian bawah. Ya, memang saat itu akhirnya darah menstruasi keluar. Sore harinya, sepulang dari kantor, saya mandi. Ketika di kamar mandi itulah, keluar gumpalan sebesar empat jari tangan. Saya berteriak memanggil suami saya. Suami saya langsung mengambil HP dan memotret gumpalan tersebut.


Malamnya kami menemui dokter tersebut untuk konsultasi rutin sekaligus menanyakan tentang gumpalan yang keluar sore itu. Kami sampai di klinik dokter pukul 18.30 (karena memang klinik itu mulai buka pukul 18.30). Kami sudah mendaftar sebelumnya. Kami mulai antre, dan satu hal yang tidak saya sukai di klinik itu adalah sistem antrean yang tidak jelas. Pasien yang dipanggil tidak sesuai dengan nomor antrean yang sudah diperoleh. Kami pun menunggu. Dan, pada pukul 22.30 barulah kami dipanggil masuk ke ruang periksa.


Kami menceritakan apa yang saya alami ke dokter tersebut. Dan ketika kami menunjukkan gambar gumpalan di HP suami, sang dokter hanya bergumam, “Oh, ya mungkin itu udah jadi, tapi gugur.” Dia mengatakan itu dengan tampang flat tanpa ekspresi dan tidak memperhatikan perasaan saya yang saat itu mendengarnya. Remuklah hati dan semangat saya malam itu. Setelah mendapat obat dari dokter, kami pulang. Dalam perjalanan pulang, saya tak henti-hentinya menangis. Hingga sampai rumah dan pergi tidur, saya masih saja terisak. Saya merasa sangat bersalah dan bodoh. Berbagai pertanyaan ada di benak saya. Bagaimana kalau memang saat itu saya hamil? Bagaimana dengan gumpalan tadi, seandainya itu janin, karena sore itu sudah saya buang ke WC? Apakah rahim saya perlu dibersihkan dari sisa-sisa janin? Begitu seterusnya sambil terisak hingga saya lelah dan tertidur.

bersambung ....

Sunday, July 2, 2017

Mencari Tahu

Kami memulai bahtera rumah tangga kami pada 2008. Semua terasa begitu indah. Banyak angan, cita-cita, impian yang ingin kami raih dan wujudkan berdua. Punya rumah sendiri, melahirkan anak, punya kendaraan sendiri yang dapat mengakomodasi kesibukan kami, dan sebagainya. Yah, layaknya pasangan muda yang baru menikah lainnya. Awal-awal menikah, kami masih menata diri dan tempat tinggal kami. Kami pun masih harus saling mengenal pribadi yang kami nikahi, karena saat menikah, kita bisa mengenal pasangan kita dengan lebih baik.

Sebelum menikah, kami sudah mengikuti Kursus Persiapan Perkawinan yang diadakan oleh gereja. Dalam kursus itu, kami diberi semacam teori tentang bagaimana mengelola suatu perkawinan yang baik menurut gereja. Salah satu dari materi kursus tersebut adalah tentang reproduksi. Kami diajari bagaimana menghitung masa subur dan sebagainya. Ya, di bulan-bulan awal, kami sangat ingin mempraktikkan teori tersebut. Mulai dari mengecek lendir, membeli alat pendeteksi kesuburan, berhubungan seks pada waktu kami merasa berada pada masa subur, mengecek kehamilan ketika kami merasa satu bulan terlewati dan saya juga melewatkan menstruasi saya. Kami terkadang mengalami kesulitan untuk melakukan semua hal itu karena saya sejak awal menstruasi sudah mengalami menstruasi yang tidak ajeg alias tidak teratur. Akan tetapi, kami tetap berusaha menerapkan ilmu yang kami dapat dari kursus itu ditambah ilmu lain yang kami dapatkan dari hasil browsing di internet.



Delapan bulan kemudian, belum ada tanda-tanda bahwa akan hadir anak di tengah keluarga kami. Saya mulai gelisah. Lalu, saya mengajak suami untuk mencoba untuk berkonsultasi ke dokter kandungan. Karena saya belum pernah periksa ke dokter kandungan, saya memilih dokter wanita untuk memeriksa saya. Suami untung saja setuju dengan ide saya tersebut. Kami berdua mulai mencari tahu kira-kira dokter siapa yang akan kami temui. Akhirnya, kami memutuskan untuk menemui dokter di salah satu rumah sakit swasta terbesar di kota kami. Pertemuan pertama dilakukan dan saya langsung ditangani. Pertama, saya diminta untuk minum minimal 5 gelas air putih sebelum diperiksa, gunanya adalah supaya ketika dilakukan USG, uterus saya dapat terlihat jelas. Baiklah, mari kita minum, toh air putih itu menyehatkan. Saya lalu diperiksa dan diminta untuk datang sewaktu saya menstruasi sebelum hari ketiga. Saya diberi obat untuk membuat saya menstruasi, karena pada saat itu saya melewatkan menstruasi saya.


Pada saat saya menstruasi, kami kembali menemui dokter tersebut. Saya di-USG lagi. Namun, kali ini kami tidak menemui dokter di rumah sakit, tetapi di klinik miliknya. Klinik miliknya itu sangat ramai, banyak orang yang mengantre untuk diperiksa. Baiklah, kami ikut mendaftar dan mengantre. Saya sudah diminta untuk minum air putih seperti saat periksa pertama. Ketika pada akhirnya kami dipanggil untuk masuk dan diperiksa, saya langsung di-USG kembali. Entah bagaimana hasilnya karena dokter juga tidak menjelaskan apa-apa. Kami lalu diberi resep obat penyubur dan dokter juga menghitungkan perkiraan masa subur. Selain itu, dokter memberi perkiraan jadwal kami untuk berhubungan seks. Wah, bisa dibayangkan bagaimana hubungan seks terjadwal itu? Hehehe…. Namun, demi sang buah hati, kami pun mengikuti saran dokter. Di tengah kesibukan suami yang saat itu sering bertugas keluar kota, kami berusaha untuk mematuhi jadwal. 

bersambung ....

Fleks Cokelat

Kehamilan saya sudah masuk minggu ke-24 dan sendi kaki kiri masih sakit. Saya setiap pagi selalu meluangkan waktu sekitar setengah jam untu...