Tiga bulan sudah saya rutin mengonsumsi metformin setiap
hari. Siklus menstruasi saya mulai lebih teratur, walau tidak seteratur
seharusnya, paling tidak tiap bulan saya pasti menstruasi. Di antara usaha
kami, tak lupa kami panjatkan syukur dan permohonan kepada Tuhan. Yah, segala
usaha kita, tanpa berkat Tuhan, semuanya tidak akan terlaksana.
Sampai ketika saya menstruasi kembali, dokter menawarkan
untuk mencoba inseminasi buatan. Inseminasi ini maksimal dilakukan tiga kali
berturut-turut. Jadi saya bisa memiliki kesempatan hingga 3x jika percobaan
pertama dan kedua gagal. Prosesnya hampir sama, hanya bedanya nanti ketika
deteksi ovulasi, saya akan disuntik di bagian perut dengan obat yang berfungsi
memecah telur. Dan hari berikutnya dilakukan inseminasi. Kami setuju untuk
mencoba.
Ketika perkiraan masa subur saya, dokter mendeteksi apakah
terjadi ovulasi. Waktu itu terdapat beberapa telur yang mulai membesar,
diharapkan telur tersebut bisa matang dan besarnya memenuhi syarat untuk
dibuahi. Dan perut bagian bawah saya disuntik. Untuk sekali suntik, kami harus
mengeluarkan biaya yang lumayan. Dan dokter meminta esoknya, tepat 24 jam
setelah disuntik, kami kembali menemuinya untuk melakuka inseminasi.
Hari berikutnya, kami menemui dokter dan suami langsung
diminta untuk mengeluarkan sperma supaya bisa dipersiapkan. Setelah itu kami
menunggu sperma suami saya diproses. Karena baru pertama kali mengikuti proses
inseminasi buatan, kami tidak tahu jika prose situ lumayan lama. Kami menunggu
di ruang tunggu malam itu sangat lama, sampai-sampai kami kelaparan. Namun,
kami tidak berani beranjak, siapa tahu sebentar lagi dipanggil. Dan sekitar 2,5
jam kami menunggu, akhirnya kami dipanggil masuk ke ruang dokter. Saya diminta
untuk berbaring dan dokter memasukkan sperma suami saya ke rahim lewat vagina. Prosesnya
tidak sakit dan tidak lama. Setelah itu, saya diminta untuk berbaring dulu selama
sekitar 15 menit.
Dan setelah itu, saya diperbolehkan pulang. Sudah larut
malam dan kami kelaparan. Ketika kami menuju parkiran, kami melihat ban motor
yang kami tumpangi gembos. Sudah tidak ada tukang tambal ban di sekitar situ
malam-malam. Akhirnya saya pun menelepon adik sepupu saya yang rumahnya lumayan
dekat dengan tempat praktik dokter. Kami harus mencari tukang tambal ban di
tempat yang lumayan jauh. Karena saya baru saja menjalani inseminasi, suami
meminta saya membonceng adik sepupu saya, sedangkan dia menuntun motor. Yah,
ini namanya perjuangan beneran. Akhirnya, setelah sekitar 2 km, kami menemukan
tambal ban yang masih buka. Kami pun langsung mengantrekan ban motor untuk
ditambal.
Seru sekali malam itu, dan tentunya tidak akan kami lupakan.
bersambung...
No comments:
Post a Comment