Saat kami memutuskan untuk tidak
melakukan pengobatan, bukan berarti kami lalu tidak melakukan usaha apa pun.
Kami tetap berusaha menghitung masa subur dan melakukan hubungan suami istri
saat masa subur sesuai perkiraan kami. Kami juga mencari informasi melalui
browsing internet hingga suatu hari ada informasi bahwa ada seorang dokter yang
melakukan pengabdian masyarakat dengan melayani pengobatan dengan obat-obat
herbal.
Kami tertarik, karena toh obat
herbal siapa tahu lebih mudah diterima tubuh. Kami pun menemuinya, berangkat pagi-pagi untuk menghindari
antrean yang mengular. Ketika giliran antrean saya, saya diminta berbaring dan
dokter menanyakan apa keluhan saya. Saya mengatakan apa yang menjadi alasan saya
menemuinya. Lalu dokter memegang perut saya dan meminta asistennya mengoleskan
semacam ramuan ke perut kemudian ramuan itu dibebat. Saya cukup membayar
sukarela waktu itu. Setelah itu, kami menunggu obat herbal kami diracik.
Obat herbal itu ternyata berupa
jamu rebus. Ada berbagai jenis daun, kayu, biji yang ada dalam paket yang kami
terima. Di dalam paket juga terdapat secarik kertas berisi cara merebus dan apa
saja khasiatnya. Kami pulang dan langsung mencoba untuk merebus jamu tersebut.
Pahit memang rasanya, tetapi demi mendapatkan buah hati, kami berdua tak
memedulikan rasa pahit di lidah kami.
Setiap kali berobat, kami harus
membawa secarik kertas di paket jamu
itu, karena untuk memudahkan dokter untuk memberikan jamu berikutnya. Kami
rutin melakukan pengobatan itu hingga beberapa bulan. Dan akhirnya, kami pun
merasa lelah karena sepertinya tidak ada peningkatan ataupun perubahan apa pun.
Saya tetap saja mengalami siklus menstruasi yang amburadul. Dan sekali lagi,
kami untuk sementara berhenti berobat.
bersambung ....
No comments:
Post a Comment