Sekitar semingguan saya menghentikan konsumsi metformin,
tetapi saya merasa kondisi fisik saya masih saja sama, lemas dan cepat capai. Bulan
Maret itu saya tidak mendapatkan menstruasi walaupun waktu itu saya masih rutin
mengonsumsi metformin dan saat kondisi fisik saya seperti itu, sudah bulan
April. Saya pun sebenarnya sudah merasakan gejala akan mengalami menstruasi,
seperti perut bagian bawah mulai sering kram, pinggul nyeri, payudara nyeri.
Secara rasional saya berpikir bahwa mungkin sebentar lagi, sekitar semingguan,
saya akan menstruasi. Lalu, entah
mendapat bisikan dari mana, tebersit untuk meminta suami saya membelikan test
pack. Yah, kami sudah lama tidak memegang alat itu, karena selama ini kami
selalu dibuat kecewa. Siklus menstruasi saya dari dulu tidak pernah teratur,
jadi kami tidak mau kege-eran dulu. Tapi tetap saja ada rasa ingin melakukan
tes urin. Maka, suami pun dengan menjawab sekenanya bilang kalau nanti pulang
kantor mampir beli. Saya juga sekadar iseng juga. Lalu ketika test pack terbeli
pun, saya tidak bergegas untuk menggunakannya. Sampai beberapa hari setelahnya,
ketika malam saya melihat test pack yang tergeletak di meja kerja saya, baru
ingat kalau sebenarnya saya berencana untuk tes urin.
Paginya, tepatnya pada 10 April 2017, saya melakukan hal
rutin dengan memasak dan bersiap ke kantor. Selesai memasak, saya baru ingat
ketika melewati meja saya lagi. Ya ampun, kan saya pagi ini mau tes urin,
padahal tadi saya sudah telanjur pipis. Saya pun berpikir, yah mungkin nanti
waktu mandi siapa tahu kebelet pipis lagi. Maka saya pun melanjutkan aktivitas
pagi itu.
Ketika saatnya mandi dan bersiap ke kantor, saya menyambar
test pack dari meja dan membawanya serta ke kamar mandi. Saya mencoba pipis
lagi. Ternyata masih ada pipis yang keluar walau sedikit. Dengan enggan saya
mencelupkan strip. Tanpa melihatnya. Lalu ketika saya merasa sudah cukup, saya
membuang sampel urin saya dan akan meletakkan strip itu ketika saya melihat ada
dua garis yang jelas di strip. Saya langsung terbelalak, deg-degan, gemetar,
berkeringat dingin. Saya ragu untuk memanggil suami saya, jangan-jangan strip
itu kedaluwarsa. Saya lalu cek bungkusnya dan tanggal kedaluwarsa masih sangat
lama. Plastik pembungkusnya pun tadi saya buka dengan kesusahan, jadi kemungkinan
bocor atau rusak juga tidak mungkin.
Setelah bengong beberapa saat, saya pun berteriak memanggil suami saya.
Suami saya tergopoh-gopoh ke kamar mandi dengan wajah panik karena waktu itu
dia masih tertidur. Dengan suara tercekat, tangan gemetar, mata basah, saya
menyodorkan strip itu ke suami . Suami saya yang masih berusaha mengumpulkan
nyawa menerima strip itu, lalu terdiam. Bergantian melihat strip itu, lalu saya
dengan tampang bingung. Tapi ketika sadar, dia lalu berkata, “Eh jangan seneng
dulu. Kita coba tes lagi besok.”
Hari itu pun kami lalui dengan penasaran. Saya mencari-cari
info di internet dan memang benar jika strip menunjukkan dua garis itu belum
tentu menunjukkan kehamilan. Ada beberapa kelainan rahim yang juga berakibat
pada tingginya HCG dan akhirnya muncul dua garis di strip. Dengan riwayat saya
sebelumnya, suami tidak mau bergembira dulu dan tetap waspada jika justru hal
terburuk yang terjadi.
Sore menjelang malam, kami sudah sampai di tempat praktik
dokter. Setelah nama kami dipanggil, kami masuk ke ruang periksa. Kami dengan
was-was dan ada sedikit rasa takut lalu menceritakan apa yang terjadi. Dokter
melihat catatan medis kami, dan mengetahui bahwa kami sudah sekitar 6 bulan
tidak menemuinya lagi sambil mempelajari ulang kasus kami sebelumnya. Setelah
dokter paham bahwa saya adalah pasiennya yang sempat terapi PCOS dan mendengar
cerita kami, wajahnya langsung berseri sambil berkata, “Wah, saya yakin kalau
ini hamil!” Kami hanya bengong, lalu menjawab, “Tapi kalau ternyata bukan
hamil, gimana, dok?” “Kalau gitu, mari kita lihat”, kata dokter sambil meminta
saya berbaring.
Dokter kemudian melakukan USG transvaginal seperti
sebelumnya dan saat itu langsung terlihat ada kantong kehamilan. Dokter
langsung berkata dengan suara riang, “Nah, itu dah kelihatan janinnya. Mari
kita lihat usianya berapa.” Saya dan suami hanya terdiam tidak percaya. Setelah
diukur berdasar panjang janin, ternyata sudah sekitar 7 minggu, maka janin dan
kantongnya langsung terlihat jelas. Dan hal yang membuat kami takjub adalah
kami sudah bisa melihat jantungnya berdenyut, berkedip-kedip di layar USG. Kami
waktu itu dengan masih terkejut tidak percaya, hanya bisa berucap, “Puji
Tuhan!”
Kami pun pulang dari tempat praktik dokter dengan penuh
syukur, tidak percaya, dan berbagai pikiran yang berseliweran di benak kami.
Dan malam itu kami menelepon orang tua dan adik untuk memberitahukan kabar
gembira ini. Kabar gembira bahwa saya telah ambil bagian dalam kisah
penciptaan… ada ciptaan Allah yang bernyawa di dalam rahim saya.
bersambung….
No comments:
Post a Comment