Setiap hari saya dan suami mengonsumsi obat-obatan penunjang
secara rutin, tidak pernah lupa sehari pun. Sampai-sampai kami hafal apotek
yang menyediakan obat yang kami cari, karena ada obat yang tidak tersedia di
apotek pada umumnya. Itu pun kami awalnya harus inden di apotek tersebut. Dan
lambat laun, mungkin karena tiap bulan kami mencari obat tersebut, apotek
langganan kami lalu menyediakan obat tersebut tiap bulan sesuai jumlah yang
kami butuhkan, tak perlu inden lagi.
Kira-kira 6 bulan kami minum obat rutin dan tidak
memeriksakan diri ke dokter. Waktu itu suami saya sudah berencana untuk cek lab
lagi, memeriksakan kualitas sperma setelah terapi itu. Ingin melihat apakah ada
perubahan, peningkatan, atau justru tak ada perubahan sama sekali.
Saya masih aktif dengan berbagai kegiatan saya, begitu juga
suami. Kami pun mulai disibukkan dengan berbagai hal, tetapi kami tetap
menghitung perkiraan masa subur. Bulan Februari-Maret 2017 adalah bulan
tersibuk bagi kami. Ada banyak acara besar di keluarga besar maupun keluarga
kecil kami. Ada syukuran mitoni adik, memasang dan membongkar lemari kabinet
dapur, memindahkan tempat tidur lama ke kamar lain untuk digantikan dengan
tempat tidur baru… yah, semua yang menguras energi dan pikiran. Sampai-sampai
kami tidak sempat memikirkan kapan masa subur dan kapan harus berhubungan. Kami
menjalani hari-hari dengan tergesa, tetapi juga santai. Tergesa karena berbagai
hal yang harus kami selesaikan, santai karena tidak harus buru-buru ke dokter
saat menstruasi datang. Kami pun berhubungan sesuai dengan mood kami, tidak
terpaku jadwal.
Pada Maret 2017, ketika itu saya sedang ada kegiatan
kunjungan di suatu biara bersama anak-anak. Saya nyaris pingsan tiba-tiba.
Untung saja salah seorang teman langsung tanggap dan memberikan bantuan
seadanya. Lalu peristiwa serupa terulang ketika saya sedang membereskan barang
dapur yang semula dikeluarkan karena kabinet dibongkar. Ketika itu saya menata
barang-barang pecah belah, dan tiba-tiba napas saya tersengal-sengal. Saya
langsung berhenti dan berbaring. Saat itu saya sudah ketakutan, apakah karena
metformin yang adalah obat diabetes yang membuat fisik saya seperti itu? Apakah
karenanya gula darah saya menjadi drop?
Keadaan seperti itu berlangsung sekitar 2 mingguan, sampai
akhirnya saya memeriksakan ke dokter umum. Saya berangkat sendiri ke dokter,
dan ketika dicek, tensi saya rendah sekali. Wah, setelah tahu tensi saya
rendah, saya jadi was-was sewaktu perjalanan pulang. Di tempat dokter umum itu
saya ceritakan bahwa saya sedang terapi dan mengonsumsi metformin. Dokter
sempat kaget waktu tahu saya mengonsumsinya setiap hari selama ini. Dia
langsung mencurigai bahwa memang gula darah saya pastilah drop karena gejalanya
memang seperti itu. Waduh…Saya lalu diberi surat pengantar untuk cek gula darah
di lab pagi harinya. Gula darah puasa.
Paginya, saya langsung menuju lab sebelum berangkat ke
kantor. Kali ini saya minta diantar suami karena saya masih merasa lemas. Waktu
itu suami saya bahkan sempat berpikir bahwa mungkin ada hubungannya dengan
liver karena saya sering lemas dan mudah capek. Setelah sampel darah diambil,
saya pun diantar ke kantor. Hasil lab diambil suami saya siangnya. Hasilnya
bagus, gula darah tidak drop. Lalu sorenya kami kembali menemui dokter. Dokter
waktu melihat hasil juga bingung. Gejalanya seperti orang yang gula darahnya
drop, tapi hasil lab mengatakan lain. Akhirnya dokter hanya menyarankan untuk
mencoba berhenti mengonsumsi metformin dan dilihat apakah ada perubahan atau
tidak. Duh Gusti…. Ada apa lagi ya ini?
bersambung…
No comments:
Post a Comment