Wednesday, October 11, 2017

Fleks Cokelat

Kehamilan saya sudah masuk minggu ke-24 dan sendi kaki kiri masih sakit. Saya setiap pagi selalu meluangkan waktu sekitar setengah jam untuk sekadar mondar-mandir di depan rumah supaya sendi menjadi lebih lemas. Saya tidak berani berjalan jauh karena takut nanti tiba-tiba sakitnya makin menjadi dan saya akan kesulitan untuk balik ke rumah.

Saya berusaha lebih aktif dan mengajak suami untuk berjalan-jalan ke toko buku sekitar seminggu setelah kontrol terakhir. Sewaktu sore sampai di rumah, saya pipis dan ketika membersihkan kemaluan, saya menemukan ada fleks coklat. Saya langsung khawatir. Saya tunjukkan fleks itu ke suami dan saya langsung diminta untuk bed rest. Waktu itu saya tidak merasakan keluhan apa pun di sekitar perut saya. Tidak ada kram, tidak ada mulas, tidak terasa kencang, tidak sakit, biasa saja. Kami memutuskan untuk melihat progressnya nanti. Jika besok masih juga ada fleks, kami akan ke dokter.

Esoknya, saya membolos kerja untuk sekadar bed rest. Masih ada sedikit fleks yang keluar. Kami pun memutuskan untuk ke dokter pada sorenya. Ketika saya menceritakan apa yang terjadi, dokter langsung memeriksa kembali kandungan saya lewat USG. Dari hasil USG, tidak ada kelainan apa pun di kehamilan saya. Kondisi janin sehat, plasenta ada di atas, tidak ada hal yang mengkhawatirkan. Lalu, dokter menyimpulkan bahwa kemungkinan ada lecet atau luka kecil di daerah dinding vagina karena fleks yang keluar berwarna cokelat, jadi bukan darah segar yang mengalir deras. Bisa jadi luka terjadi sehari sebelumnya dan darah lama itu baru keluar dalam bentuk fleks kecokelatan.

Kami pun pulang dengan sedikit lega. Lega karena kehamilan saya aman, dan “sedikit” karena kami belum tahu penyebab lecet itu. Namun, paling tidak sendi saya yang sakit berangsur-angsur membaik.
Sekitar seminggu kemudian, saya menemukan fleks kecokelatan lagi. Kali ini lebih sedikit daripada sebelumnya. Kami pun berusaha tenang dan mengingat pesan dokter bahwa itu tidak berbahaya. Akan tetapi, kami makin khawatir karena fleks tersebut berulang terjadi seminggu kemudian. Jadi, hampir tiap akhir pecan, saya mengalami fleks cokelat. Akhirnya kami kembali ke dokter. Karena kami datang kedua kalinya dengan keluhan yang sama dan waktunya tidak lama, maka dokter memutuskan untuk mengecek langsung bagian dalam vagina saya. Dengan speculum seperti dulu sewaktu saya melakukan inseminasi buatan, dokter mengecek kondisi dinding vagina saya. Akhirnya ditemukanlah penyebab fleks selama ini. Dokter menemukan ada beberapa polip di sekitar mulut rahim saya. Polip itu muncul sebagai efek dari kehamilan, jadi tidak membahayakan. Polip itu semacam bisul yang akan berdarah jika tergesek. Polip bisa hilang seiring makin tuanya usia kehamilan karena kulit mulut rahim akan menebal. Namun, ada kemungkinan juga polip tersebut tetap ada dan saya akan mengalami fleks cokelat sampai saatnya melahirkan nanti.

Hasil pemeriksaan yang melegakan sekaligus tidak melegakan… hahahaha…

bersambung…


Sunday, October 1, 2017

Kontrol 24 Minggu

Ketika mendekati minggu ke-24, saya mengalami kesakitan di daerah sendi antara kaki dan pinggul bagian kiri. Rasanya sangat sulit untuk bergerak apa lagi untuk berjalan. Saya harus berjalan pelan dan terpincang-pincang. Berbagai kekalutan muncul. Apakah ada syaraf yang terjepit? Bagaimana jika iya, apakah saya dapat berjalan normal lagi?

Hingga seminggu kemudian, sekitar akhir Juli 2017, saat jadwal kontrol, dengan susah payah saya dan suami menuju tempat praktik. Saya menceritakan semua yang saya alami dan rasakan. Dokter memberi penjelelasan kalau itu hal yang lumrah terjadi. Sewaktu hamil, si ibu akan mengalami pembesaran secara fisik di semua bagian, termasuk sendi-sendi tubuh mengalami penyesuaian terlebih di bagian pinggang. Hal itu terjadi untuk mendukung kehamilan dan persalinan nantinya. Itu kerjaan hormon. Lalu, setelah menjelaskan panjang lebar, saya diminta untuk tetap berlatih untuk berjalan, jangan menuruti rasa sakitnya. Baiklah. Saya akan jalan-jalan tiap pagi di depan rumah dulu, untuk melemaskan sendi-sendi.

Lalu setelah itu, dokter meminta saya untuk berbaring dan di-USG. Minta ampun susah dan sakitnya saat itu hanya untuk naik dan berbaring di bed. Saya sampai teriak-teriak karena sendi yang sakit itu sangat kaku dan saya kesulitan untuk berbaring. Akhirnya dengan bantuan suami dan asisten dokter, saya dapat berbaring. Hanya untuk berbaring saja saya harus keluar keringat seperti habis lari marathon. Setelah cek-cek, diperkirakan berat bayi sudah bertambah menjadi 657gr. Kondisi bayi sehat dan aktif. Sehat-sehat selalu ya, Nak….


bersambung…

Wednesday, August 30, 2017

Kontrol 20 Minggu

Tak terasa waktu cepat berjalan. Tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang menggelitik perut saya. Saya berusaha memahami, apa sebenarnya itu. Ternyata itulah saat ketika saya merasakan gerakan bayi saya untuk pertama kali. Rasanya sangat aneh, menakjubkan, membahagiakan, semua bercampur aduk tak terbayangkan. Pada saat itu saya merasakannya bergerak dan sangat aktif. Benar-benar seorang anak yang aktif ada di rahim saya. Itu sesuatu yang sungguh ajaib rasanya. Kehamilan itu penuh dengan kejutan dan segala hal yang tak dapat kita tebak. Begitu indah.

Saat itu sudah mendekati minggu ke-20, ketika kami harus kembali menemui dokter untuk memeriksa kehamilan (6 Juli 2017). Seperti kontrol sebelumnya, saya kembali dilanda kegugupan sekaligus kebahagiaan karena tak hentinya saya merasakan tendangan mungil di perut saya.

USG minggu ke-21

Kami masuk ke ruang periksa dan mulai di-USG. Seperti bulan sebelumnya, denyut jantung bayi dicek dan kali ini dokter mulai memperkirakan berat bayi. Perkiraan pada saat itu adalah 384gr (kurang lebih). Selama di-USG, dokter harus bekerja keras menemukan posisi bayi yang pas karena dia tak hentinya bergerak di dalam rahim saya. Suami menuruti kemauan saya untuk merekam proses USG tersebut, karena kami ingin melihat kembali ketika anak kami bergerak-gerak di layar. Sangat ajaib dan membahagiakan ketika melihat kembali rekaman tersebut.

Setelah pemeriksaan selesai dan dokter menyatakan semua baik, saya kembali diberi suplemen untuk 1 bulan mendatang.


bersambung…

Thursday, August 24, 2017

Kontrol 16 Minggu

Hari-hari kami lalui tanpa ada masalah apa pun. Saya mulai bisa beraktivitas seperti biasa, bahkan sudah mengajar Sekolah Minggu dengan lancar juga mengikuti latihan dan tugas koor di gereja. Saya bahkan bisa menghadiri baptisan keponakan yang sebulan sebelumnya lahir. Saya merasa sangat prima, mengingat masa-masa sebelumnya saya benar-benar merasa lemah, lemas, tidak bertenaga. Pada masa-masa ini juga, baju-baju saya yang tadinya longgar, sudah mulai terasa kekecilan, terlebih bagian dada dan perut. Ada satu teman kantor yang dengan semangat dan baik hati membuatkan saya baju hamil tanpa diminta (thank you, you know who you are :*), dan saya juga memesan baju ke teman lain. Saya juga sudah berbelanja celana panjang hamil 4 potong, sepertinya cukup untuk kebutuhan saya.

Lalu ketika masuk minggu ke-16 (7 Juni 2017), yaitu tepat 1 bulan setelah kontrol terakhir, kami mulai menemui dokter lagi untuk memeriksakan kehamilan. Setiap kali mengunjungi dokter untuk memeriksakan kehamilan, saya selalu merasa gugup. Seakan saya sebentar lagi akan naik pentas. Tangan dingin, perasaan tidak tenang, dan sebagainya. Apa lagi saat menunggu di ruang tunggu periksa, rasanya sangat menyiksa, ingin segera tahu kondisi bayi kami.

Usia kehamilan 16 minggu

Ketika akhirnya diperiksa, pada usia kehamilan 16 minggu, dokter mengecek denyut jantung bayi saya. Saat itu kami pertama kali mendengar denyut jantung anak kami. Perasaan kami tidak bisa digambarkan dengan apa pun. Jika pada awal kehamilan, kami hanya bisa melihat kedip-kedip kecil di tengah janin, kini kami bahkan bisa mendengar denyutnya. Dokter memeriksa dengan saksama dan mengatakan bahwa semuanya normal dan baik-baik saja, hanya saya masih belum mengalami kenaikan berat badan pada saat itu. Dokter masih memberi bekal berupa beberapa suplemen bagi saya: kalsium, multivitamin, dan penambah darah.

Dan berikut penampakan saya 2 minggu kemudian (usia kehamilan 18 minggu pada 22 Juni 2017), mohon abaikan wajah pucat tak bermake-up dan berjerawat .... :D



bersambung…

Tuesday, August 22, 2017

Kontrol 11 Minggu

Kemudian, 2 minggu setelah kontrol 9 minggu pun datang. Kira-kira waktu itu 11 minggu lebih (8 Mei 2017), hampir 12 minggu. Waktu dokter melakuan USG seperti biasa, kami bisa melihat tangan dan kaki mungil itu sekarang bergerak-gerak! Oh Tuhan! Bentuknya sudah menyerupai bayi mungil walau saat itu masih berukuran sangat kecil, sekitar 4,5 cm jika diukur dari ujung kepala hingga tulang ekornya.

USG 11 minggu

Semuanya terlihat baik dan saya diberi obat yang sama dengan 2 minggu sebelumnya, tetapi bedanya kali ini saya sudah tidak perlu konsumsi metformin. Dokter menyatakan bahwa saya sudah cukup mengonsumsi metformin karena dirasa kondisi janin sudah aman. Dan, setelah kontrol malam itu, kami diminta untuk kembali kontrol 1 bulan kemudian.

Banyak perubahan di fisik saya selama beberapa minggu itu. Mabuk dan teler yang saya alami sudah berangsur ringan. Saya sudah bisa mulai makan seperti biasa, hanya saja masih dalam porsi kecil. Perut saya juga berangsur-angsur mulai membuncit, walau belum kelihatan seperti orang hamil, tetapi celana yang biasa saya gunakan untuk kerja sudah tidak bisa lagi dikancingkan, jadi harus beli celana khusus untuk orang hamil.

Dan sejak tahu tentang kehamilan ini, puji Tuhan, saya memiliki suami yang sangat mengasihi saya dan dari awal sangat mendukung semua usaha yang kami lakukan, termasuk mengambil alih tugas rumah tangga. Saya dibebastugaskan dari urusan dapur dan lainnya. Benar-benar seperti ratu di rumah, lagian jika saya memaksakan diri juga fisik saya tidak bisa. Setiap pulang kerja, tubuh ini rasanya sudah sangat lelah dan hanya ingin berbaring.


bersambung…

Wednesday, August 16, 2017

Kontrol Kedua

Pada saat kondisi tubuh teler, saya memutuskan untuk mengurangi kegiatan yang selama ini saya ikuti. Beberapa masih saya jalani dengan backup dari teman yang lain, beberapa memang sudah saya hentikan. Bahkan saya menghentikan les biola yang saat itu sedang getol-getolnya ingin saya kuasai karena dengan fisik yang tidak fit, saya rasa saya akan kesulitan berkonsentrasi memahami materi yang disampaikan.

Saat terberat adalah ketika di kantor. Karena pekerjaan saya menuntut deadline yang harus dipenuhi hari itu juga, ketika saya tiba-tiba teler dan tidak kuat, saya akan pamit pulang dengan rasa bersalah karena tidak dapat menyelesaikan pekerjaan hari itu. Namun, sungguh di luar dugaan, teman-teman kerja saya berusaha memahami saya, walaupun saya tahu mereka pasti kelimpungan mencari pengganti saya hari itu juga. Terima kasih atas perhatian dan pengertian kalian, teman-teman.

Lalu, kira-kira dua minggu setelah cek pertama, sesuai anjuran dokter, kami kontrol. Saat itu kurang lebih usia kehamilan 9 minggu. Dokter masih memeriksa kehamilan saya dengan USG transvaginal dan kali ini kami sudah bisa melihat bakal tangan dan kaki anak kami. Oh, it’s so amazing! Kami diminta untuk kontrol 2 minggu lagi. Sepertinya pola periksanya seperti itu, kami diminta kontrol tiap 2 minggu sekali hingga nanti 12 minggu.

USG usia kehamilan 9 minggu

Kami diberi bekal obat dan vitamin hampir sama seperti kemarin, bedanya kali ini Utrogestan diganti dengan Cygest. Masih sama-sama progesterone, hanya kali ini tidak berupa obat oral, tetap dimasukkan ke vagina. Cara konsumsi masih sama seperti Utrogestan, sekali sehari pada jam yang sama menjelang tidur malam. Ini yang kurang menyenangkan, sangat merepotkan malah. Karena waktu itu diset pukul 10 malam saya harus memasukkan obat tersebut. Otomatis jika saya belum mengantuk, saya harus segera pipis, memasukkan obat dan baringan. Dan sebaliknya, jika saya sudah mengantuk sebelum pukul 10 malam itu, saya harus menahan kantuk hingga waktu yang ditentukan. Lebih menyiksa lagi, setelah memasukkan obat, diusahakan jangan bangun, supaya obat tidak keluar lagi. Tetapi serepot apa pun itu, saya jalani demi karunia Tuhan yang telah kami tunggu selama 8 tahun ini.

bersambung…

Tuesday, August 8, 2017

Susah Makan

Setelah mengetahui kabar gembira itu, saya baru tersadar mengapa selama beberapa minggu itu saya cepat lelah, napas berat, tidak nafsu makan. Dan saya waktu itu juga langsung tersadar bahwa beberapa hari sebelum tes urin itu, saya malah sempat mengonsumsi nanas (ada di lutis buah), tape ketan, dan saya juga sempat melakukan aktivitas fisik seperti angkat junjung, lompat sana sini. Tapi untunglah sewaktu diperiksa, janin saya masih aman.

Ketika pulang dari tempat praktik dokter malam itu, kami diberi bekal beberapa obat. Saya masih diminta melanjutkan metformin saya hingga usia kehamilan 12 minggu. Saya juga diberi tambahan vitamin, folat dsb. Kecuali itu, saya juga diberi Utrogestan (tambahan progesterone untuk memperkuat janin saya) yang harus diminum sekali sehari pada jam yang sama menjelang tidur malam. Kami diminta untuk periksa 2 minggu lagi setelah pertemuan tersebut.

Lalu, pada akhirnya saya pun mengalami mabuk seperti kebanyakan wanita hamil. Lambung ini serasa terisi asam seluruhnya. Perih, tetapi lapar. Ketika dipaksa makan, maka saya akan mual, atau paling menyebalkan, saya akan muntah. Tetapi jika perut tidak diisi, saya juga akan muntah. Tubuh saya makin terasa lemah. Dan hari Kamis, 13 April 2017 bertepatan dengan Kamis Putih, saya masih sangat teler. Namun, malam itu saya paksakan untuk mengikuti perayaan karena saya ingin mengucap syukur kepada Tuhan atas berkat-Nya yang luar biasa di dalam keluarga kami ini. Ini adalah kado Paskah terindah yang kami terima. Walau saya hanya duduk di bangku dan tidak melakukan apa pun karena tubuh sangat lemah. Kami memilih tempat duduk di tenda luar, karena kami pikir jika sewaktu-waktu saya tidak kuat, kami bisa dengan mudah menyelinap pulang. Dan ketika di tenda luar itu, saya bisa mencium aroma bakpao yang dikukus. Begitu wangi. Saya berbisik kepada suami untuk membelikan beberapa bakpao nanti seusai perayaan.

Waktu itu, tidak ada makanan yang bisa diterima perut saya dengan ramah. Hanya susu UHT yang bisa masuk dan buah mangga matang (bukan mentah, karena rasa asamnya justru membuat saya muntah). Maka malam itu, setelah perayaan Kamis Putih, suami saya membelikan bakpao ayam. Dan saya memakannya di rumah. Anehnya, perut saya tidak bergolak dan bisa menerima bakpao tersebut. Waduh, padahal bakpao itu hanya ada di gereja dan hanya sewaktu ada jadwal misa.

Maka, pada hari berikutnya, yaitu perayaan Jumat Agung, walau seharusnya kami disarankan untuk berpuasa, karena kondisi fisik, saya justru berburu bakpao. Kami membeli beberapa bakpao lagi setelah perayaan Jumat Agung. Beberapa orang yang kami jumpai di gereja, mengira saya sedang mengalami sakit karena terlihat pucat. Yah, ini rasanya memang sakit, tetapi saya bahagia menerima sakit ini. Dan begitu juga yang terjadi ketika Malam Paskah, kami memborong bakpao. Bukan karena nyidam, tetapi karena hanya itu yang bisa diterima lambung saya dan member tenaga bagi fisik saya.


bersambung… 

Monday, July 31, 2017

Dua Garis

Sekitar semingguan saya menghentikan konsumsi metformin, tetapi saya merasa kondisi fisik saya masih saja sama, lemas dan cepat capai. Bulan Maret itu saya tidak mendapatkan menstruasi walaupun waktu itu saya masih rutin mengonsumsi metformin dan saat kondisi fisik saya seperti itu, sudah bulan April. Saya pun sebenarnya sudah merasakan gejala akan mengalami menstruasi, seperti perut bagian bawah mulai sering kram, pinggul nyeri, payudara nyeri. Secara rasional saya berpikir bahwa mungkin sebentar lagi, sekitar semingguan, saya akan menstruasi.  Lalu, entah mendapat bisikan dari mana, tebersit untuk meminta suami saya membelikan test pack. Yah, kami sudah lama tidak memegang alat itu, karena selama ini kami selalu dibuat kecewa. Siklus menstruasi saya dari dulu tidak pernah teratur, jadi kami tidak mau kege-eran dulu. Tapi tetap saja ada rasa ingin melakukan tes urin. Maka, suami pun dengan menjawab sekenanya bilang kalau nanti pulang kantor mampir beli. Saya juga sekadar iseng juga. Lalu ketika test pack terbeli pun, saya tidak bergegas untuk menggunakannya. Sampai beberapa hari setelahnya, ketika malam saya melihat test pack yang tergeletak di meja kerja saya, baru ingat kalau sebenarnya saya berencana untuk tes urin.

Paginya, tepatnya pada 10 April 2017, saya melakukan hal rutin dengan memasak dan bersiap ke kantor. Selesai memasak, saya baru ingat ketika melewati meja saya lagi. Ya ampun, kan saya pagi ini mau tes urin, padahal tadi saya sudah telanjur pipis. Saya pun berpikir, yah mungkin nanti waktu mandi siapa tahu kebelet pipis lagi. Maka saya pun melanjutkan aktivitas pagi itu.

Ketika saatnya mandi dan bersiap ke kantor, saya menyambar test pack dari meja dan membawanya serta ke kamar mandi. Saya mencoba pipis lagi. Ternyata masih ada pipis yang keluar walau sedikit. Dengan enggan saya mencelupkan strip. Tanpa melihatnya. Lalu ketika saya merasa sudah cukup, saya membuang sampel urin saya dan akan meletakkan strip itu ketika saya melihat ada dua garis yang jelas di strip. Saya langsung terbelalak, deg-degan, gemetar, berkeringat dingin. Saya ragu untuk memanggil suami saya, jangan-jangan strip itu kedaluwarsa. Saya lalu cek bungkusnya dan tanggal kedaluwarsa masih sangat lama. Plastik pembungkusnya pun tadi saya buka dengan kesusahan, jadi kemungkinan bocor atau rusak juga tidak mungkin.  Setelah bengong beberapa saat, saya pun berteriak memanggil suami saya. Suami saya tergopoh-gopoh ke kamar mandi dengan wajah panik karena waktu itu dia masih tertidur. Dengan suara tercekat, tangan gemetar, mata basah, saya menyodorkan strip itu ke suami . Suami saya yang masih berusaha mengumpulkan nyawa menerima strip itu, lalu terdiam. Bergantian melihat strip itu, lalu saya dengan tampang bingung. Tapi ketika sadar, dia lalu berkata, “Eh jangan seneng dulu. Kita coba tes lagi besok.”

Hari itu pun kami lalui dengan penasaran. Saya mencari-cari info di internet dan memang benar jika strip menunjukkan dua garis itu belum tentu menunjukkan kehamilan. Ada beberapa kelainan rahim yang juga berakibat pada tingginya HCG dan akhirnya muncul dua garis di strip. Dengan riwayat saya sebelumnya, suami tidak mau bergembira dulu dan tetap waspada jika justru hal terburuk yang terjadi.

Maka hari berikutnya, 11 April 2017, pagi-pagi benar kami bangun. Suami langsung mengeluarkan test pack yang dia beli lagi sore hari sebelumnya. Ternyata dia mengeluarkan 5 strip sekaligus. Saya lalu pipis dan kami berdua mencelupkan setiap strip sambil menunggu hasilnya. Semua strip bergaris dua. Setelah itu sorenya, kami pada memutuskan untuk menemui dokter kandungan yang menangani kami sebelumnya.




Sore menjelang malam, kami sudah sampai di tempat praktik dokter. Setelah nama kami dipanggil, kami masuk ke ruang periksa. Kami dengan was-was dan ada sedikit rasa takut lalu menceritakan apa yang terjadi. Dokter melihat catatan medis kami, dan mengetahui bahwa kami sudah sekitar 6 bulan tidak menemuinya lagi sambil mempelajari ulang kasus kami sebelumnya. Setelah dokter paham bahwa saya adalah pasiennya yang sempat terapi PCOS dan mendengar cerita kami, wajahnya langsung berseri sambil berkata, “Wah, saya yakin kalau ini hamil!” Kami hanya bengong, lalu menjawab, “Tapi kalau ternyata bukan hamil, gimana, dok?” “Kalau gitu, mari kita lihat”, kata dokter sambil meminta saya berbaring.

Dokter kemudian melakukan USG transvaginal seperti sebelumnya dan saat itu langsung terlihat ada kantong kehamilan. Dokter langsung berkata dengan suara riang, “Nah, itu dah kelihatan janinnya. Mari kita lihat usianya berapa.” Saya dan suami hanya terdiam tidak percaya. Setelah diukur berdasar panjang janin, ternyata sudah sekitar 7 minggu, maka janin dan kantongnya langsung terlihat jelas. Dan hal yang membuat kami takjub adalah kami sudah bisa melihat jantungnya berdenyut, berkedip-kedip di layar USG. Kami waktu itu dengan masih terkejut tidak percaya, hanya bisa berucap, “Puji Tuhan!”

Tangan saya gemetar karena sangat bahagia. Ketika turun dari bed, saya juga gemetaran sambil menahan tangis. Dokter mencetak hasil USG dan memberikan kepada kami. Dokter terlihat ikut bahagia karena kasus PCOS itu gampang-gampang susah, yang sudah menjalani bayi tabung pun belum tentu berhasil hamil. Dan selama ini sebenarnya dokter berharap saya bisa hamil secara alami dan ternyata terjadi. Saya berhasil hamil justru ketika kami tidak memeriksakan diri ke dokter selama 6 bulan itu. Prosesnya benar-benar alami, kecuali dengan bantuan obat-obatan yang kami konsumsi tentu saja, dan yang terutama dengan berkat dan seizin Tuhan yang penuh kasih. Dokter dan asistennya memberi selamat kepada kami. 



Kami pun pulang dari tempat praktik dokter dengan penuh syukur, tidak percaya, dan berbagai pikiran yang berseliweran di benak kami. Dan malam itu kami menelepon orang tua dan adik untuk memberitahukan kabar gembira ini. Kabar gembira bahwa saya telah ambil bagian dalam kisah penciptaan… ada ciptaan Allah yang bernyawa di dalam rahim saya.


bersambung….

Thursday, July 27, 2017

Gula Darah Drop

Setiap hari saya dan suami mengonsumsi obat-obatan penunjang secara rutin, tidak pernah lupa sehari pun. Sampai-sampai kami hafal apotek yang menyediakan obat yang kami cari, karena ada obat yang tidak tersedia di apotek pada umumnya. Itu pun kami awalnya harus inden di apotek tersebut. Dan lambat laun, mungkin karena tiap bulan kami mencari obat tersebut, apotek langganan kami lalu menyediakan obat tersebut tiap bulan sesuai jumlah yang kami butuhkan, tak perlu inden lagi.

Kira-kira 6 bulan kami minum obat rutin dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Waktu itu suami saya sudah berencana untuk cek lab lagi, memeriksakan kualitas sperma setelah terapi itu. Ingin melihat apakah ada perubahan, peningkatan, atau justru tak ada perubahan sama sekali.

Saya masih aktif dengan berbagai kegiatan saya, begitu juga suami. Kami pun mulai disibukkan dengan berbagai hal, tetapi kami tetap menghitung perkiraan masa subur. Bulan Februari-Maret 2017 adalah bulan tersibuk bagi kami. Ada banyak acara besar di keluarga besar maupun keluarga kecil kami. Ada syukuran mitoni adik, memasang dan membongkar lemari kabinet dapur, memindahkan tempat tidur lama ke kamar lain untuk digantikan dengan tempat tidur baru… yah, semua yang menguras energi dan pikiran. Sampai-sampai kami tidak sempat memikirkan kapan masa subur dan kapan harus berhubungan. Kami menjalani hari-hari dengan tergesa, tetapi juga santai. Tergesa karena berbagai hal yang harus kami selesaikan, santai karena tidak harus buru-buru ke dokter saat menstruasi datang. Kami pun berhubungan sesuai dengan mood kami, tidak terpaku jadwal.

Pada Maret 2017, ketika itu saya sedang ada kegiatan kunjungan di suatu biara bersama anak-anak. Saya nyaris pingsan tiba-tiba. Untung saja salah seorang teman langsung tanggap dan memberikan bantuan seadanya. Lalu peristiwa serupa terulang ketika saya sedang membereskan barang dapur yang semula dikeluarkan karena kabinet dibongkar. Ketika itu saya menata barang-barang pecah belah, dan tiba-tiba napas saya tersengal-sengal. Saya langsung berhenti dan berbaring. Saat itu saya sudah ketakutan, apakah karena metformin yang adalah obat diabetes yang membuat fisik saya seperti itu? Apakah karenanya gula darah saya menjadi drop?

Keadaan seperti itu berlangsung sekitar 2 mingguan, sampai akhirnya saya memeriksakan ke dokter umum. Saya berangkat sendiri ke dokter, dan ketika dicek, tensi saya rendah sekali. Wah, setelah tahu tensi saya rendah, saya jadi was-was sewaktu perjalanan pulang. Di tempat dokter umum itu saya ceritakan bahwa saya sedang terapi dan mengonsumsi metformin. Dokter sempat kaget waktu tahu saya mengonsumsinya setiap hari selama ini. Dia langsung mencurigai bahwa memang gula darah saya pastilah drop karena gejalanya memang seperti itu. Waduh…Saya lalu diberi surat pengantar untuk cek gula darah di lab pagi harinya. Gula darah puasa.

Paginya, saya langsung menuju lab sebelum berangkat ke kantor. Kali ini saya minta diantar suami karena saya masih merasa lemas. Waktu itu suami saya bahkan sempat berpikir bahwa mungkin ada hubungannya dengan liver karena saya sering lemas dan mudah capek. Setelah sampel darah diambil, saya pun diantar ke kantor. Hasil lab diambil suami saya siangnya. Hasilnya bagus, gula darah tidak drop. Lalu sorenya kami kembali menemui dokter. Dokter waktu melihat hasil juga bingung. Gejalanya seperti orang yang gula darahnya drop, tapi hasil lab mengatakan lain. Akhirnya dokter hanya menyarankan untuk mencoba berhenti mengonsumsi metformin dan dilihat apakah ada perubahan atau tidak. Duh Gusti…. Ada apa lagi ya ini?


bersambung…

Sunday, July 23, 2017

Inseminasi Buatan Kedua

Sekitar hampir sebulan setelah inseminasi buatan yang pertama, saya merasakan adanya tanda-tanda akan menstruasi. Dan seminggu kemudian, saya beneran menstruasi. Yah, gagal maning… gagal maning. Kami pun kembali menemui dokter.

Waktu di tempat praktik, kami disapa oleh para asisten dokter, dan disangka saya sudah hamil setelah inseminasi sebelumnya. Saya jawab dengan lesu jika saya justru menstruasi. Gagal. Kami pun harus mengulang proses dari nol. Prosesnya sama persis, hanya saja kali ini ketika deteksi ovulasi, dinding rahim saya tidak menebal. Maka dokter memberi resep tambahan untuk membantu penebalan dinding rahim.  Setelah beberapa hari mengonsumsi obat tambahan tersebut, kami siap melakukan inseminasi buatan yang kedua.

Karena sudah pengalaman dengan inseminasi yang pertama, ketika kami sampai di tempat praktik dokter dan suami sudah diminta untuk mengeluarkan sperma, kami langsung pamit untuk membeli makan malam. Dan ketika kami kembali dari makan malam, prosesnya ternyata belum juga rampung. Lalu, proses yang kami lalui malam itu sama persis dengan proses pada bulan sebelumnya, hanya saja malam itu kami tidak perlu mengalami ban bocor.

Namun, sayang sungguh sayang…. Bulan berikutnya saya mengalami menstruasi lagi. Gagal untuk ke sekian kali. Dan karena kami mulai kelelahan secara fisik, mental, jiwa, dan juga financial, kami untuk ke sekian kalinya juga menyerah dan memilih istirahat sejenak lagi. Namun, kami berdua tetap melanjutkan obat-obat rutin yang diberikan dokter, jika kami kehabisan, kami akan membelinya lagi di apotek. Toh tak ada salahnya karena dokter juga bilang kalau kami harus meminumnya sampai saya berhasil hamil.

bersambung...

Friday, July 21, 2017

Inseminasi Buatan Pertama

Tiga bulan sudah saya rutin mengonsumsi metformin setiap hari. Siklus menstruasi saya mulai lebih teratur, walau tidak seteratur seharusnya, paling tidak tiap bulan saya pasti menstruasi. Di antara usaha kami, tak lupa kami panjatkan syukur dan permohonan kepada Tuhan. Yah, segala usaha kita, tanpa berkat Tuhan, semuanya tidak akan terlaksana.

Sampai ketika saya menstruasi kembali, dokter menawarkan untuk mencoba inseminasi buatan. Inseminasi ini maksimal dilakukan tiga kali berturut-turut. Jadi saya bisa memiliki kesempatan hingga 3x jika percobaan pertama dan kedua gagal. Prosesnya hampir sama, hanya bedanya nanti ketika deteksi ovulasi, saya akan disuntik di bagian perut dengan obat yang berfungsi memecah telur. Dan hari berikutnya dilakukan inseminasi. Kami setuju untuk mencoba.

Ketika perkiraan masa subur saya, dokter mendeteksi apakah terjadi ovulasi. Waktu itu terdapat beberapa telur yang mulai membesar, diharapkan telur tersebut bisa matang dan besarnya memenuhi syarat untuk dibuahi. Dan perut bagian bawah saya disuntik. Untuk sekali suntik, kami harus mengeluarkan biaya yang lumayan. Dan dokter meminta esoknya, tepat 24 jam setelah disuntik, kami kembali menemuinya untuk melakuka inseminasi.

Hari berikutnya, kami menemui dokter dan suami langsung diminta untuk mengeluarkan sperma supaya bisa dipersiapkan. Setelah itu kami menunggu sperma suami saya diproses. Karena baru pertama kali mengikuti proses inseminasi buatan, kami tidak tahu jika prose situ lumayan lama. Kami menunggu di ruang tunggu malam itu sangat lama, sampai-sampai kami kelaparan. Namun, kami tidak berani beranjak, siapa tahu sebentar lagi dipanggil. Dan sekitar 2,5 jam kami menunggu, akhirnya kami dipanggil masuk ke ruang dokter. Saya diminta untuk berbaring dan dokter memasukkan sperma suami saya ke rahim lewat vagina. Prosesnya tidak sakit dan tidak lama. Setelah itu, saya diminta untuk berbaring dulu selama sekitar 15 menit.

Dan setelah itu, saya diperbolehkan pulang. Sudah larut malam dan kami kelaparan. Ketika kami menuju parkiran, kami melihat ban motor yang kami tumpangi gembos. Sudah tidak ada tukang tambal ban di sekitar situ malam-malam. Akhirnya saya pun menelepon adik sepupu saya yang rumahnya lumayan dekat dengan tempat praktik dokter. Kami harus mencari tukang tambal ban di tempat yang lumayan jauh. Karena saya baru saja menjalani inseminasi, suami meminta saya membonceng adik sepupu saya, sedangkan dia menuntun motor. Yah, ini namanya perjuangan beneran. Akhirnya, setelah sekitar 2 km, kami menemukan tambal ban yang masih buka. Kami pun langsung mengantrekan ban motor untuk ditambal.


Seru sekali malam itu, dan tentunya tidak akan kami lupakan.

bersambung...

Fleks Cokelat

Kehamilan saya sudah masuk minggu ke-24 dan sendi kaki kiri masih sakit. Saya setiap pagi selalu meluangkan waktu sekitar setengah jam untu...