Setelah mengetahui kabar gembira itu, saya baru tersadar
mengapa selama beberapa minggu itu saya cepat lelah, napas berat, tidak nafsu
makan. Dan saya waktu itu juga langsung tersadar bahwa beberapa hari sebelum
tes urin itu, saya malah sempat mengonsumsi nanas (ada di lutis buah), tape
ketan, dan saya juga sempat melakukan aktivitas fisik seperti angkat junjung,
lompat sana sini. Tapi untunglah sewaktu diperiksa, janin saya masih aman.
Ketika pulang dari tempat praktik dokter malam itu, kami
diberi bekal beberapa obat. Saya masih diminta melanjutkan metformin saya
hingga usia kehamilan 12 minggu. Saya juga diberi tambahan vitamin, folat dsb.
Kecuali itu, saya juga diberi Utrogestan (tambahan progesterone untuk
memperkuat janin saya) yang harus diminum sekali sehari pada jam yang sama
menjelang tidur malam. Kami diminta untuk periksa 2 minggu lagi setelah
pertemuan tersebut.
Lalu, pada akhirnya saya pun mengalami mabuk seperti
kebanyakan wanita hamil. Lambung ini serasa terisi asam seluruhnya. Perih,
tetapi lapar. Ketika dipaksa makan, maka saya akan mual, atau paling
menyebalkan, saya akan muntah. Tetapi jika perut tidak diisi, saya juga akan
muntah. Tubuh saya makin terasa lemah. Dan hari Kamis, 13 April 2017 bertepatan
dengan Kamis Putih, saya masih sangat teler. Namun, malam itu saya paksakan
untuk mengikuti perayaan karena saya ingin mengucap syukur kepada Tuhan atas
berkat-Nya yang luar biasa di dalam keluarga kami ini. Ini adalah kado Paskah
terindah yang kami terima. Walau saya hanya duduk di bangku dan tidak melakukan
apa pun karena tubuh sangat lemah. Kami memilih tempat duduk di tenda luar,
karena kami pikir jika sewaktu-waktu saya tidak kuat, kami bisa dengan mudah
menyelinap pulang. Dan ketika di tenda luar itu, saya bisa mencium aroma bakpao
yang dikukus. Begitu wangi. Saya berbisik kepada suami untuk membelikan
beberapa bakpao nanti seusai perayaan.
Waktu itu, tidak ada makanan yang bisa diterima perut saya
dengan ramah. Hanya susu UHT yang bisa masuk dan buah mangga matang (bukan
mentah, karena rasa asamnya justru membuat saya muntah). Maka malam itu,
setelah perayaan Kamis Putih, suami saya membelikan bakpao ayam. Dan saya
memakannya di rumah. Anehnya, perut saya tidak bergolak dan bisa menerima
bakpao tersebut. Waduh, padahal bakpao itu hanya ada di gereja dan hanya
sewaktu ada jadwal misa.
Maka, pada hari berikutnya, yaitu perayaan Jumat Agung,
walau seharusnya kami disarankan untuk berpuasa, karena kondisi fisik, saya
justru berburu bakpao. Kami membeli beberapa bakpao lagi setelah perayaan Jumat
Agung. Beberapa orang yang kami jumpai di gereja, mengira saya sedang mengalami
sakit karena terlihat pucat. Yah, ini rasanya memang sakit, tetapi saya bahagia
menerima sakit ini. Dan begitu juga yang terjadi ketika Malam Paskah, kami
memborong bakpao. Bukan karena nyidam, tetapi karena hanya itu yang bisa
diterima lambung saya dan member tenaga bagi fisik saya.
bersambung…
No comments:
Post a Comment